Sabtu, 29 November 2008
SOSIALISASI POLITIK YANG MENYESATKAN
Di bidang politik, tak dapat disangkal bahwa Indonesia pasca-Soeharto
telah mengalami banyak perubahan. Proses reformasi dan demokratisasi yang
tahun ini genap memasuki usia sepuluh tahun kian menjadikan Indonesia
sebentuk negara modern, yang di dalamnya setiap warga negara dapat menikmati
kebebasannya untuk berpartisipasi politik. Hal ini tentu patut disyukuri,
karena partisipasi politik rakyat yang tinggi niscaya mereduksi
kesewenang-wenangan para penyelenggara negara dalam membuat maupun
melaksanakan kebijakan publik. Namun, tingginya partisipasi politik di satu
sisi idealnya diikuti dengan sosialisasi politik yang intensif, benar dan
baik di sisi yang lain. Agar dengan demikian, terjadi perimbangan sinergis
yang niscaya membuat politik Indonesia kian modern sekaligus tetap berada di
jalurnya.
Sosialisasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai proses
penanaman nilai, pengetahuan, dan orientasi politik kepada seluruh warga
negara. Ia harus dilakukan secara intensif, dalam arti setiap saat dan
berkesinambungan. Di sinilah pers berperan penting sebagai "penyambung
lidah" para agen sosialisasi politik. Tak terbayang bagaimana rasanya jika
sehari terlewat tanpa pers. Kita bisa terlambat mendapatkan pengetahuan
tentang apa yang terjadi, isu apa yang mencuat ke publik, kebijakan apa yang
disahkan, dan pelbagai hal lain dalam kaitannya dengan proses politik yang
terus-menerus bergulir.
Sosialisasi politik juga harus berjalan secara benar, dalam arti semua
nilai, pengetahuan, dan orientasi politik yang diinternalisasikan kepada
seluruh warga negara jangan sampai menyesatkan atau menyimpang dari hakikat
keindonesiaan sesuai dasar negara dan konstitusi. Sedangkan sosialisasi
politik yang baik, itu berarti upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka itu
haruslah bersifat dialogis dan bukan indoktriner seperti yang terjadi di era
Orde Baru.
Lalu, siapakah yang menjadi agen-agen sosialisasi politik itu? Siapa
saja bisa, entah para penyelenggara negara, lembaga-lembaga kuasi-negara,
partai politik, maupun orang-orang biasa. Namun, dikarenakan budaya
masyarakat Indonesia yang masih bercorak bapakisme, maka umumnya rakyat
lebih mendengar apa kata para pemimpin, elit politik, dan mereka yang
dianggap sebagai tokoh masyarakat.
Dalam kaitan itulah saya ingin mengingatkan siapa pun, yang oleh pers
dijadikan "news maker" karena seringnya dimintai komentar maupun pendapat,
agar bijak dan berhati-hati. Sebab, apa pun yang mereka katakan bukan tak
mungkin dijadikan acuan kebenaran oleh masyarakat luas. Dengan kata lain,
apa yang bersumber dari mereka secara langsung maupun tidak langsung bisa
saja menjadi sosialisasi politik. Kalau benar, itu bagus. Tapi kalau tidak,
bukankah itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat?
Ada dua contoh kasus yang ingin saya kemukakan dalam kaitan itu.
Pertama, apa yang dikatakan Dr Eggi Sudjana SH, M.Si, dalam talkshow di
salah satu stasiun teve swasta pasca-SKB Ahmadiyah. Saat itu Eggi
mengatakan, dasar negara Indonesia bukanlah Pancasila. Ia mengacu pada Pasal
29 UUD 45 ayat 1 yang menyebutkan: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa". Menurut Eggi, Tuhan yang dimaksud itu Allah SWT, yang karena itu
merujuk pada Islam. Benarkah demikian?
Jelas tidak. Karena, ayat 1 tersebut harus disandingkan dengan ayat 2
yang menyebutkan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."
Jadi, jelas tidak boleh ada monopoli tafsir tentang "ketuhanan" dalam
konteks ini.
Memang, rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta (yang menyebut-nyebut
syariat Islam) pernah diusulkan menjadi dasar negara sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945. Namun, bukankah jelas bahwa akhirnya Pancasila yang disahkan
sebagai dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai
sekarang adalah Pancasila yang netral-agama? Dan Pancasila itu sendiri
tidaklah terdiri atas satu sila saja, melainkan lima. Jadi, bukan hanya soal
ketuhanan yang penting, tetapi juga kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan
kerakyatan. Semua konsep penting itu saling terkait dan tak terpisahkan,
menjadi dasar negara Indonesia. Jadi, mengapa harus dibelokkan dengan
mengatakan bahwa negara Indonesia berdasar ketuhanan?
Adalah sebuah kesalahan fatal jika menganggap Indonesia adalah negara
agama atau negara berdasarkan agama. Sebagai bangsa pun, keanekaragaman
sudah menjadi ciri Indonesia sejak dulu. Inilah anugerah yang bukan saja
harus disadari, tetapi juga disyukuri dan dirawat terus-menerus oleh seluruh
warga negara Indonesia.
Contoh kedua adalah apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Maftuh
Basyuni di saat rapat kerja tentang SKB Ahmadiyah di Komisi VIII DPR, 12
Juni lalu. Saat itu, menanggapi anggota dewan dari Fraksi PDS Tiurlan
Hutagaol yang berbicara sebelumnya, Maftuh meminta kelompok nonmuslim untuk
tidak mencampuri masalah Ahmadiyah. Sebab, menurut Maftuh, orang di luar
Islam tidak memahami masalah sebenarnya.
Inilah yang patut kita sesalkan. Pertama, karena persoalan Ahmadiyah
seharusnya dipandang sebagai persoalan bersama dalam kaitannya dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Atas dasar
itulah kita mengkritik pihak-pihak yang berupaya mempersempit ruang-lingkup
persoalan ini sehingga menjadi eksklusif.
Kedua, apakah Maftuh berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang
pejabat tinggi negara atau sebagai seorang muslim? Dengan siapakah Maftuh
mengadakan raker saat itu, dengan kelompok muslim atau dengan anggota dewan
yang mewakili rakyat Indonesia yang bermacam-macam agamanya? Sungguh
mengherankan mengapa seorang menteri, yang mestinya mampu bersikap dan
berpikir sebagaimana layaknya seorang negarawan, sampai mengeluarkan
pernyataan yang parsialistik seperti itu. Tidak sadarkah Maftuh bahwa ia
berada di kabinet, dan memimpin sebuah departemen, dalam kapasitasnya
sebagai salah satu pemimpin pemerintahan dan bukan sebagai pemimpin umat?
Apa boleh buat, kita harus mengingatkan para pemimpin agar tak
henti-hentinya belajar sehingga tidak berparadigma naif dan berpolapikir
parsialistik. Para pemimpin seharusnya mampu memerankan diri sebagai
negarawan sejati dengan etika kenegarawanan (the ethic of statemanship) yang
benar. Setidaknya hal itu niscaya terpancar di dalam dua hal ini: selalu
merasa diri sebagai pemimpin bagi semua warga negara Indonesia dan pelayan
bagi semua warga negara Indonesia. Dengan demikianlah mereka niscaya dapat
menjadi panutan yang baik bagi rakyat. Sehingga, rakyat pun niscaya memiliki
kemampuan bertoleransi di tengah masyarakat yang majemuk. Rakyat niscaya
juga memiliki etika sebagai warga negara (the ethic of citizenship) yang
benar, yang di tengah kehidupan bermasyarakat mampu memandang sesama warga
negara Indonesia sebagai saudara sebangsa dan setanahair, dan bukan sebagai
sesama seagama.
Kembali pada sosialisasi politik, ihwal Pancasila agaknya memang masih
harus disosialisasikan secara intensif. Agar kita semua betul-betul
menyadari bahwa Pancasila adalah dasar negara kita, yang berarti harus
dijadikan acuan dan pedoman utama di dalam kehidupan bernegara. Pancasila
adalah juga ideologi kita, yang karena itu harus mewarnai seluruh falsafah
hidup kita sebagai warga negara Indonesia. Memang, ideologi-ideologi lain
boleh saja ada, namun dalam konteks kehidupan bernegara dan sebagai warga
negara, Pancasila haruslah mengatasi ideologi-ideologi yang lain itu.
telah mengalami banyak perubahan. Proses reformasi dan demokratisasi yang
tahun ini genap memasuki usia sepuluh tahun kian menjadikan Indonesia
sebentuk negara modern, yang di dalamnya setiap warga negara dapat menikmati
kebebasannya untuk berpartisipasi politik. Hal ini tentu patut disyukuri,
karena partisipasi politik rakyat yang tinggi niscaya mereduksi
kesewenang-wenangan para penyelenggara negara dalam membuat maupun
melaksanakan kebijakan publik. Namun, tingginya partisipasi politik di satu
sisi idealnya diikuti dengan sosialisasi politik yang intensif, benar dan
baik di sisi yang lain. Agar dengan demikian, terjadi perimbangan sinergis
yang niscaya membuat politik Indonesia kian modern sekaligus tetap berada di
jalurnya.
Sosialisasi politik itu sendiri dapat diartikan sebagai proses
penanaman nilai, pengetahuan, dan orientasi politik kepada seluruh warga
negara. Ia harus dilakukan secara intensif, dalam arti setiap saat dan
berkesinambungan. Di sinilah pers berperan penting sebagai "penyambung
lidah" para agen sosialisasi politik. Tak terbayang bagaimana rasanya jika
sehari terlewat tanpa pers. Kita bisa terlambat mendapatkan pengetahuan
tentang apa yang terjadi, isu apa yang mencuat ke publik, kebijakan apa yang
disahkan, dan pelbagai hal lain dalam kaitannya dengan proses politik yang
terus-menerus bergulir.
Sosialisasi politik juga harus berjalan secara benar, dalam arti semua
nilai, pengetahuan, dan orientasi politik yang diinternalisasikan kepada
seluruh warga negara jangan sampai menyesatkan atau menyimpang dari hakikat
keindonesiaan sesuai dasar negara dan konstitusi. Sedangkan sosialisasi
politik yang baik, itu berarti upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka itu
haruslah bersifat dialogis dan bukan indoktriner seperti yang terjadi di era
Orde Baru.
Lalu, siapakah yang menjadi agen-agen sosialisasi politik itu? Siapa
saja bisa, entah para penyelenggara negara, lembaga-lembaga kuasi-negara,
partai politik, maupun orang-orang biasa. Namun, dikarenakan budaya
masyarakat Indonesia yang masih bercorak bapakisme, maka umumnya rakyat
lebih mendengar apa kata para pemimpin, elit politik, dan mereka yang
dianggap sebagai tokoh masyarakat.
Dalam kaitan itulah saya ingin mengingatkan siapa pun, yang oleh pers
dijadikan "news maker" karena seringnya dimintai komentar maupun pendapat,
agar bijak dan berhati-hati. Sebab, apa pun yang mereka katakan bukan tak
mungkin dijadikan acuan kebenaran oleh masyarakat luas. Dengan kata lain,
apa yang bersumber dari mereka secara langsung maupun tidak langsung bisa
saja menjadi sosialisasi politik. Kalau benar, itu bagus. Tapi kalau tidak,
bukankah itu bisa berdampak negatif bagi masyarakat?
Ada dua contoh kasus yang ingin saya kemukakan dalam kaitan itu.
Pertama, apa yang dikatakan Dr Eggi Sudjana SH, M.Si, dalam talkshow di
salah satu stasiun teve swasta pasca-SKB Ahmadiyah. Saat itu Eggi
mengatakan, dasar negara Indonesia bukanlah Pancasila. Ia mengacu pada Pasal
29 UUD 45 ayat 1 yang menyebutkan: "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa". Menurut Eggi, Tuhan yang dimaksud itu Allah SWT, yang karena itu
merujuk pada Islam. Benarkah demikian?
Jelas tidak. Karena, ayat 1 tersebut harus disandingkan dengan ayat 2
yang menyebutkan: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."
Jadi, jelas tidak boleh ada monopoli tafsir tentang "ketuhanan" dalam
konteks ini.
Memang, rumusan Pancasila versi Piagam Jakarta (yang menyebut-nyebut
syariat Islam) pernah diusulkan menjadi dasar negara sebelum Proklamasi 17
Agustus 1945. Namun, bukankah jelas bahwa akhirnya Pancasila yang disahkan
sebagai dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945 dan berlaku sampai
sekarang adalah Pancasila yang netral-agama? Dan Pancasila itu sendiri
tidaklah terdiri atas satu sila saja, melainkan lima. Jadi, bukan hanya soal
ketuhanan yang penting, tetapi juga kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan
kerakyatan. Semua konsep penting itu saling terkait dan tak terpisahkan,
menjadi dasar negara Indonesia. Jadi, mengapa harus dibelokkan dengan
mengatakan bahwa negara Indonesia berdasar ketuhanan?
Adalah sebuah kesalahan fatal jika menganggap Indonesia adalah negara
agama atau negara berdasarkan agama. Sebagai bangsa pun, keanekaragaman
sudah menjadi ciri Indonesia sejak dulu. Inilah anugerah yang bukan saja
harus disadari, tetapi juga disyukuri dan dirawat terus-menerus oleh seluruh
warga negara Indonesia.
Contoh kedua adalah apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Maftuh
Basyuni di saat rapat kerja tentang SKB Ahmadiyah di Komisi VIII DPR, 12
Juni lalu. Saat itu, menanggapi anggota dewan dari Fraksi PDS Tiurlan
Hutagaol yang berbicara sebelumnya, Maftuh meminta kelompok nonmuslim untuk
tidak mencampuri masalah Ahmadiyah. Sebab, menurut Maftuh, orang di luar
Islam tidak memahami masalah sebenarnya.
Inilah yang patut kita sesalkan. Pertama, karena persoalan Ahmadiyah
seharusnya dipandang sebagai persoalan bersama dalam kaitannya dengan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin konstitusi. Atas dasar
itulah kita mengkritik pihak-pihak yang berupaya mempersempit ruang-lingkup
persoalan ini sehingga menjadi eksklusif.
Kedua, apakah Maftuh berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang
pejabat tinggi negara atau sebagai seorang muslim? Dengan siapakah Maftuh
mengadakan raker saat itu, dengan kelompok muslim atau dengan anggota dewan
yang mewakili rakyat Indonesia yang bermacam-macam agamanya? Sungguh
mengherankan mengapa seorang menteri, yang mestinya mampu bersikap dan
berpikir sebagaimana layaknya seorang negarawan, sampai mengeluarkan
pernyataan yang parsialistik seperti itu. Tidak sadarkah Maftuh bahwa ia
berada di kabinet, dan memimpin sebuah departemen, dalam kapasitasnya
sebagai salah satu pemimpin pemerintahan dan bukan sebagai pemimpin umat?
Apa boleh buat, kita harus mengingatkan para pemimpin agar tak
henti-hentinya belajar sehingga tidak berparadigma naif dan berpolapikir
parsialistik. Para pemimpin seharusnya mampu memerankan diri sebagai
negarawan sejati dengan etika kenegarawanan (the ethic of statemanship) yang
benar. Setidaknya hal itu niscaya terpancar di dalam dua hal ini: selalu
merasa diri sebagai pemimpin bagi semua warga negara Indonesia dan pelayan
bagi semua warga negara Indonesia. Dengan demikianlah mereka niscaya dapat
menjadi panutan yang baik bagi rakyat. Sehingga, rakyat pun niscaya memiliki
kemampuan bertoleransi di tengah masyarakat yang majemuk. Rakyat niscaya
juga memiliki etika sebagai warga negara (the ethic of citizenship) yang
benar, yang di tengah kehidupan bermasyarakat mampu memandang sesama warga
negara Indonesia sebagai saudara sebangsa dan setanahair, dan bukan sebagai
sesama seagama.
Kembali pada sosialisasi politik, ihwal Pancasila agaknya memang masih
harus disosialisasikan secara intensif. Agar kita semua betul-betul
menyadari bahwa Pancasila adalah dasar negara kita, yang berarti harus
dijadikan acuan dan pedoman utama di dalam kehidupan bernegara. Pancasila
adalah juga ideologi kita, yang karena itu harus mewarnai seluruh falsafah
hidup kita sebagai warga negara Indonesia. Memang, ideologi-ideologi lain
boleh saja ada, namun dalam konteks kehidupan bernegara dan sebagai warga
negara, Pancasila haruslah mengatasi ideologi-ideologi yang lain itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan komentar anda disini! :)